Dulu Aku hidup sampai senja hari, hingga suatu ketika roma
mengkhianatiku. Aku berdiri di sini. Ku pacu pelan motorku sambil mataku
melambai-lambai ke kanan-kiri ke tempat yang baru aku kunjungi.
Lalu sontak aku diperlihatkan gedung-gedung megah menjulang
berpacu menusuk awan, di lautan beton Jakarta aku geram. Lambat laun aku mulai
tersadar, ini kota aku dilahirkan, walau akhirnya aku dibuang ke pinggiran
Selatan.
Aku memahami akan ketidak adilan rasa, di mana aku harus
menanggung semuanya. Pedih dan pilu menjelma menjadi setan yang menakutkanku.
Ujung-ujungnya aku sendiri, merangkai mimpi. Menunggu datangnya pelangi yang
tak kunjung kembali.
Aku butuh hujan yang riang, sama seperti waktu kala kau ada
sambil erat menggenggam tubuh ini. Oh, aku rindu.
Menikmati tubuh kita beriringan dengan deru. Seperti salju yang turun di
hamparan Jakarta, kota yang penuh tipu daya, tapi juga penuh akan segala macam
keluh gelisah romansa yang tak pernah kau dapati di mana saja.
Tubuhku tak mau lepas dari sajak-sajak bayanganmu, lalu
mengikutiku penuh harap, kau kembali lagi. Janji-janji sekarang penuh harap,
paranoid semakin berkelakar dengan harapan janganlah jatuh ke bisikkan lain.
Harap-harap senja akan datang, di situ aku ingin kau pulang,
di atas semua beban penderitaan, marilah sama-sama berpeluk lagi. Untuk jiwa
yang lama tak tersirami. Aku menunggumu pulang. Di senja, eloknya Barat, di
sini, di Selatan.
No comments:
Post a Comment