Thursday, April 7, 2016

Akhir Mendung di Selatan

Dulu Aku hidup sampai senja hari, hingga suatu ketika roma mengkhianatiku. Aku berdiri di sini. Ku pacu pelan motorku sambil mataku melambai-lambai ke kanan-kiri ke tempat yang baru aku kunjungi.

Lalu sontak aku diperlihatkan gedung-gedung megah menjulang berpacu menusuk awan, di lautan beton Jakarta aku geram. Lambat laun aku mulai tersadar, ini kota aku dilahirkan, walau akhirnya aku dibuang ke pinggiran Selatan.

Aku memahami akan ketidak adilan rasa, di mana aku harus menanggung semuanya. Pedih dan pilu menjelma menjadi setan yang menakutkanku. Ujung-ujungnya aku sendiri, merangkai mimpi. Menunggu datangnya pelangi yang tak kunjung kembali.

Aku butuh hujan yang riang, sama seperti waktu kala kau ada sambil erat menggenggam tubuh ini. Oh, aku rindu.
Menikmati tubuh kita beriringan dengan deru. Seperti salju yang turun di hamparan Jakarta, kota yang penuh tipu daya, tapi juga penuh akan segala macam keluh gelisah romansa yang tak pernah kau dapati di mana saja.


Tubuhku tak mau lepas dari sajak-sajak bayanganmu, lalu mengikutiku penuh harap, kau kembali lagi. Janji-janji sekarang penuh harap, paranoid semakin berkelakar dengan harapan janganlah jatuh ke bisikkan lain.


Harap-harap senja akan datang, di situ aku ingin kau pulang, di atas semua beban penderitaan, marilah sama-sama berpeluk lagi. Untuk jiwa yang lama tak tersirami. Aku menunggumu pulang. Di senja, eloknya Barat, di sini, di Selatan.